Sabtu, 30 Juli 2011

Hanien

Mestinya malam ini bisa sangat istimewa
Seperti dalam mimpi-mimpiku selama ini

Kekasih, jemputlah aku
Kekasih, sambutlah aku
Aku akan menceritakan kerinduanku dengan kata-kata biasa
Dan kau cukup tersenyum memahami deritaku
Lalu kuletakkan kepalaku yang penat di haribaanmu yang hangat
Kekasih, tetaplah di sisiku
Kekasih, tataplah mataku
Tapi seperti biasa sekian banyak yang ingin kukatakan tak terkatakan
Sekian banyak yang ingin kuadukan diambil alih oleh airmataku
Kekasih, dengarlah dadaku
Kekasih, bacalah airmataku

Malam ini belum juga seperti mimpi-mimpiku selama ini
Malam ini lagi lagi kau biarkan sepi mewakilimu...
---

ditulis dengan begitu indah oleh KH Mustofa Bisri

Note :
Sepi itu terkadang seperti air. Awalnya hanya beriak. Kemudian mengombak. Lalu berubah menjadi gelombang pasang. Dan tanpa kau sadari telah menyeretmu dengan kencang. Saat itu terjadi, yang aku inginkan hanya bertahan. Karena betapapun tinggi gelombang menerjang, pada akhirnya akan kembali tenang. Semoga...

Kamis, 28 Juli 2011

Ketulusan

Ketulusan tak akan pernah mampu kau temukan dalam kata
Ia lebih dapat teraba dari gerak yang tercermin dalam perbuatan
Sekumpulan perhatian yang terurai dalam tingkah lakunya
Juga tanpa alasan yang biasa terwakili 'karena'

Saat perhatian diberikan, dia hanya berbuat tanpa banyak kata
Saat pujian disampaikan, binar matanya adalah tanda
Saat memberi, potongan cinta akan kau temukan terselip di sana
Dan hatimu tak akan pernah tersesat dalam lupa

Ketulusan bukan kata dan hanya kau dapati dalam rasa
Seperti cahaya matahari pagi yang menghangatkanmu
Tanpa kata tapi kau merasakan hangatnya
Begitulah ketulusan, meski tanpa kata, tapi nyata di rasa adanya

Saat Hujan Turun Di Hatiku

Rabb...
Aku sungguh tahu, jalan takdir  yang Kau beri tak selalu berhias pelangi dan wangi bunga. Tapi jika boleh aku meminta, mohon beri aku hati sekuat karang. Agar aku mampu terus tegak berjalan saat hujan badai datang di jalan takdirku...
---

Kadang, hidup berjalan tak seperti yang aku harapkan. Aduh... Meski aku tahu pasti hal itu adalah yang terbaik yang diberlakukan-Nya untukku, tapi tetap saja 'menangis' adalah hal pertama yang sering terjadi padaku. Tiba-tiba saja mata menjadi memberat, seperti uap air yang telah terkondensasi menjadi awan, tak sanggup lagi menahan bebannya dan ingin jatuh sebagai hujan. Hhmm... Kalau sudah begini aku benar-benar ingin hujan turun dari langit. Jatuh tepat di atas kepalaku, terus turun membasahi wajah. Aku berharap titik-titik airnya akan menolongku menyembunyikan air mataku. Karena dalam hujan : Tak seorangpun akan tahu betapa basahnya hatiku...
Terutama anak-anak, aku tak ingin mereka berpikir "betapa cengengnya ibu"

---
Cinta...
Saat hujan turun di hatiku, yang paling ingin aku dengar adalah suara teduhmu. Menenangkan resahku...

Senin, 25 Juli 2011

Seperti Senja


Cinta itu terkadang seperti senja. Datang sekejap dengan segala keindahannya, kemudian berlalu pergi. Kepergiannya yang begitu cepat meninggalkan kehilangan pada hati yang telah terpaut. Tapi apalah artinya senja yang berlalu, jika dalam hatimu kamu meyakini, esok sang hari akan menghantarkan senja yang lain datang kembali. Apalah artinya sebuah kehilangan, jika kamu memiliki harapan akan menemukan seseorang yang lain di waktu nanti.

Mungkin kehilangan seseorang hanya seperti senja yang menghilang dijemput sang malam. Hanya soal waktu, senja yang lain akan datang menghampirimu. Kembali memberikan keindahan seperti yang pernah kamu rasakan. Atau bahkan mungkin jauh lebih indah.

Yah, hanya begitu. Kehilangan hanya seperti senja yang berlalu.

Minggu, 24 Juli 2011

Semut

Semut itu binatang paling romantis, meski mereka tak pernah mengungkapkannya dalam kata. Di setiap pertemuan, mereka tak pernah melewatkan sentuhan, juga kecupan. Sentuhan dan kecupan sepertinya sudah menjadi bahasa mereka. Bahasa tubuh mereka. Mungkin itu cara mereka mengatakan "I love you". Dengan menyentuh. Dengan mengecup. Dan mereka tak pernah bosan melakukannya. Mereka tak memerlukan kata-kata. Cukup sentuhan. Cukup kecupan.

Dan kamu, persis seperti semut-semut itu. Tak pernah kamu lewatkan setiap pertemuan tanpa sentuhan dan kecupan. Aku bisa merasakannya, itu caramu mengekspresikan cinta. Cinta yang mengalir dari lubuk hatimu. Cinta yang kau wakilkan pada sentuhan dan kecupan. Meski tanpa kata-kata cinta. Hanya sesekali kamu menjawab saat aku bilang I love you : "Me too". Hanya itu. Tapi itu sudah mewakili isi hatimu. Kamu juga mencintaiku.

Kamu yang pendiam. Dan aku yang ekspresif. Begitu genit membagi kata sayang. Hampir semua yang aku rasakan aku ungkapkan dalam kata-kata. Aku sampaikan. Dua sifat yang bertolak belakang sebenarnya. Tapi beginilah kita : saling jatuh cinta. Mungkin kita berbeda. Tapi kita melengkapi. Kamu persis semut yang mengekspresikan cinta bukan dengan kata, dan aku akan menterjemahkannya dengan berjuta kata cinta yang aku mampu. Membisikkannya. Langsung menuju hatimu. Kamu tak bosan kan?

Beginilah kita. Saling melengkapi. Sentuhanmu, kecupanmu, dan berjuta kata cintaku. I love you, really.

Jumat, 22 Juli 2011

(Masih) Kangen

Tak butuh penjelasan banyak saat kamu merasa "kangen". Simple saja. Saat kepala dan pikiranmu dipenuhi seseorang, itu kangen. Kamu bahkan mampu membayangkannya hingga begitu detail. Matanya. Senyumnya. Suaranya. Sentuhannya. Bahkan bau tubuhnya. Begitu detailnya kamu mampu membayangkannya, lalu kangen itu seperti merubahmu menjadi seorang pelukis. Melukis segala yang ada padanya di ingatanmu. Begitu detail. Bahkan lukisan itu seperti hidup. Kemudian mengajakmu menyusuri labirin-labirin masa lalu yang pernah kalian alami. Seperti yang aku alami pagi ini.
---
♥ Kangen itu kata yang kubisikkan pada sang angin pagi ini, berharap akan disampaikannya padamu di sana.
♥ Kangen itu mungkin kebalikan dari obat tidur, bikin aku sulit memejamkan mata semalam...:(
♥ Kangen itu membuatku ingin bersandar di punggungmu, agar dapat kurasakan kembali hangat yang menenangkan menjalari sekujur tubuhku. Berdiam lama-lama. Dan tak hendak pergi.
♥ Kangen itu sesuatu yang membuatku bertambah cengeng, menangis semalaman dan terbangun dengan mata sembab.
♥ Kangen itu membuatku semakin sering menyebut namamu dalam bait-bait doaku, memohon kepada-Nya agar kebaikan selalu menyertaimu.
♥ Kangen itu seperti jalan setapak yang akan membimbingmu padaku.
♥ Kangen itu sesuatu yang akan membawamu ke masa lalu, mengumpulkan kenangan yang berserak, kemudian memaknainya dengan bijak.
♥ Kangen itu sesuatu yang sederhana tapi mampu membuatmu bersyukur dalam-dalam bahwa kamu memiliki seseorang.
♥ Kangen itu kesadaran, bahwa cinta masih bersemayam dalam relung hatiku. Untukmu.

Heiii... Aku kangen. Masih.

Kamis, 21 Juli 2011

Konsekuensi

Dalam hidup, untuk setiap yang kita lakukan pasti memiliki konsekuensi. Memiliki resiko. Konsekuensi yang terjadi begitu berwarna. Dan yang jelas tak pasti. Itu yang terkadang membuat hidup menjadi tak mudah. Tapi di sisi lain kita justru bisa belajar bijak menentukan langkah. Menimbang setiap konsekuensi yang mungkin terjadi. Buat aku, paling tidak aku bisa mempersiapkan diri menerima konsekuensi. Meski kadang itupun tak semudah yang terpikirkan.

Konsekuensi itu seperti bayanganmu sendiri. Mengikuti kemanapun kamu melangkah. Konsekuensi tak pernah diam. Selalu hadir. Seperti saat aku lebih suka berhujan-hujanan daripada membawa payung. Aku tahu konsekuensi yang akan mengikutinya. Masuk angin. Tapi tetap aku lebih suka menikmati hujan, dan menerima seandainyapun bakal demam semalaman. Kadang kita manusia seperti itu. Bersedia menanggung konsekuensi demi sesuatu yang di sukai. Tapi bukankah begitu hidup, bukan soal besar kecil konsekuensi yang akan ditanggung, tapi sekuat apa kemauan kita menanggung konsekuensi itu.

Konsekuensi juga akan mengikuti kemanapun hatimu menuju. Pada siapapun hatimu jatuh. Juga bila hatimu jatuh sejatuh-jatuhnya pada seseorang. Konsekuensinya mungkin adalah patah dan sakit yang teramat. Logikanya begini, cinta yang banyak tentu berakibat sakit yang juga tak sedikit. Konsekuensi terlalu cinta adalah patah yang menyakitkan. Itu yang biasa terjadi.

Terlintas terpikir, bagaimana aku mencintaimu. Cinta yang kadang membuatku merasa "can't life without you". Konsekuensi jatuh sejatuh-jatuhnya mungkin adalah patah sepatah-patahnya. Siapkah aku ? Tapi itulah konsekuensinya. Dan harus siap. Hanya berharap, kalaupun harus patah semoga Dia Sang Maha Segala semakin erat memelukku. Memberi kekuatan dan ketabahan. Aamiin.

---
Jatuh cinta padamu seperti jatuh ke dalam jurang yang aku tak perduli seberapapun dalamnya, tak perduli apakah aku bisa keluar atau tidak, karena aku memang tak ingin keluar...

Rabu, 20 Juli 2011

Miss You

Jutaan rasa berterbangan di langit siang
yang berhias saputan mendung
Aku menangkap satu : rindu
dan ingin menikmatinya bersamamu
Maukah kamu ?


Note :
Siang, mendung, dan rindu...
Ditulis di sudut hati yang membiru

Selasa, 19 Juli 2011

Diam Perempuan

diamnya perempuan
adalah kumpulan kata-kata yang terpenjara dalam hati, terikat dalam kebungkaman, hanya menanti, untuk dimengerti

diamnya perempuan
adalah barisan ketidakberdayaan yang menghuni jiwa, membias dalam diam-diam doa, melahirkan kepasrahan, kemudian menanam harap pada esok

Senin, 18 Juli 2011

Cukup

Terkadang, berkata "cukup" pada diri sendiri perlu. "Sampai di sini" mungkin itu kalimat tepatnya. Saat kamu merasa tak ada lagi yang bisa kamu lakukan. Saat semua usaha telah kamu kerjakan. Dan tak ada progress yang berarti, hanya sesuatu yang sia-sia, saatnya berkata "cukup".

Itu seperti batas yang kamu ciptakan untuk dirimu sendiri. Bukan karena putus asa atau enggan lagi berusaha. Tapi lebih mencoba berpikir secara realistis. Seperti gelas yang ada batasnya untuk diisi, atau akan tumpah dan membasahi sekitarnya. Seperti tanda dilarang masuk, batas yang jika dilanggar justru akan menyusahkan diri sendiri. Seperti perut yang sudah kenyang, atau akan muntah jika dipaksakan terus makan. Yah, semacam itu. Ada batasnya.

Seperti aku padamu. Mungkin saat ini aku sedang berada pada sebuah batas. Berdiri tegak pada sebuah titik dengan tulisan "cukup". Batas memberitahuku bahwa tak ada gunanya terus melangkah, atau akan semakin jauh terluka. Batas juga mengingatkanku bahwa cinta itu pernah ada. Agar aku tak lupa bahwa aku pernah mencintaimu tanpa batas itu.

Tapi dunia berputar. Semua tak lagi sama.

Dari jauh aku masih melihatmu, tapi hanya melihat. Tak ada lagi sapa mesra. Tak ada lagi puisi cinta. Semua telah berakhir dengan satu kata "cukup". Mungkin kita masih saling melambaikan tangan, tapi tak ada lagi sentuhan, cukup senyuman. Mungkin kita masih melewati jalan yang sama, tapi tak ada lagi genggaman tangan, cukup bau tubuhmu yang tertinggal. Semua itu : cukup untukku.

Kata "cukup" kuharap adalah awal baru bagiku. Untuk bersikap realistis. Untuk berbesar hati pada kenyataan. Tapi kata "cukup" kuharap akan selalu mengingatkanmu, bahwa pernah ada sepotong hati yang mencintaimu penuh, dan tanpa kata "cukup".

---
Note :
Dedicated to my best friend.
(Mungkin) Saatnya berkata "cukup", sampai disini.
Semoga selalu dalam kebaikan, aamiin.
 



Jumat, 15 Juli 2011

Pagi Biru

biru meluruh di sekujur pagi
berbisik sebuah tanya 
adakah bayanganku yang kau pindai di sana ?
sedang di sini rasa melarut
bersama secangkir kopi tanpa gula
sementara di luar
pepohonan berdenting dalam sunyi
jika masih tersisa cinta
tulus kupinta
kecup aku
dengan
manisnya doa
---

Mencintaimu dengan do'a, do'a, dan do'a
Heii, aku akan mengingatnya

Kamis, 14 Juli 2011

Kekasih Hujan

Aku pertama kali membaca tulisan KH Mustofa Bisri ini lebih dari setahun yang lalu. Pertama membacanya seperti terhanyut oleh setiap kalimat yang dituturkan sang kyai. Begitu dalam. Lembut. Penuh makna. Aku sering mengulang-ulang membacanya, sampai di beberapa kalimat di kisah itu aku bahkan hapal. Dan yang aneh, meski telah berpuluh kali membacanya tanpa disadari mataku selalu basah. Ada pelajaran yang aku dapatkan disini : "Bahwa cinta ibarat pisau bermata dua yang mampu mendatangkan suatu kebahagiaan yang teramat, namun di bagian sisi yang lain, juga mampu menggoreskan luka yang perih"

Kekasih Hujan
oleh : KH Mustofa Bisri

BEGINILAH cara kita berpisah kekasih. Mungkin kelak aku hanya mengingatmu sebagai hujan. Kau. Lelaki tanpa nama. Sekali waktu bahkan kau benar-benar ingin kupanggil: Hujan. Sesuatu yang terasa kosong.

Perpisahan kita adalah juga pertemuan tak bernama. Entah mengapa kita harus membuat janji menziarahi pantai dan laut itu. Kaukatakan bahwa perjumpaan terakhir, barangkali penting untuk sepasang kekasih, kalau tidak, kau tidak bisa bayangkan bagaimana cara menempatkanku dalam kenangan nanti, saat aku memilih kehidupan lain bersama seseorang yang kuyakini lebih mencintaiku daripada kau, sebagaimana juga kau pun akan begitu. Kukira, kau memang benar. Kita harus menjaga diri dari rasa saling benci, sebab kita pernah begitu mencintai (itu pun kalau kau tak berbohong. Aduh. Aku sungguh tak bisa bayangkan cintamu sebuah kebohongan. Tidak mungkin. Kau mencintaiku, aku merasa begitu. Kedalaman matamu sering bicara padaku. Mata yang kukira sesuatu yang paling jujur dalam dirimu).

Lalu pantai dan laut, kekasih. Kita berbagi. Di sini. Ada sekelopak tangis. Ada cerita canda. Ada tawa getir. Kita seperti sengaja menghibur diri. Membangun suasana sehangat mungkin, dekat dan penuh bunga. Kau membujukku untuk mengatakan apa aku benar-benar akan meninggalkanmu. Dengan manja, kukatakan, benar, aku akan segera pergi, barangkali ke negeri yang penuh bunga dan malam selalu purnama. Kau menatap, matamu mengiris mataku. Kubiarkan. Aku ingin teriris. Terbelah dan sakit. Aku. Kau. Memang harus membiarkan luka itu mengalir indah, menjadi rindu yang nanti akan kita simpan diam-diam. Hanya begitu.

Dan, marilah, pecah suaramu, kita masuk dalam rimba cerita. Maka kauminta aku mengurai kembali tentang seorang kekasih yang terlalu sering memetik pagi pada subuh dingin dan mengirimnya untuk lelaki yang bahkan tidak mengerti bagaimana cara menjaganya. Wajahku bersemu. Setengah jengah dan malu. Aku merasa kau begitu tahu seluruh rahasiaku, termasuk bagaimana cara aku mencintai. Haruskah aku ceritakan lagi. Tentu saja, katamu tegas. Untuk apa. Untuk membahagiakan hatiku yang luka, kau berbisik. Siapa yang sesungguhnya luka. Aku, bisikmu. Kauremas rambutku. Tidak. Kau berbohong. Luka itu, sesuatu yang kau ingin. Karena itu, jangan pernah merasa terluka, apalagi dilukai.

Baiklah aku bercerita. Hanya saja cerita ini bukan untuk hatimu yang luka, tapi untuk kita. Aku. Kau.

***

Aku selalu memanggilmu Hujan. Tentu saja karena kau lelaki tanpa nama. Tanpa sepenggal ingatan kanak-kanak. Kehadiran yang sering kali kauyakini tak bermula. Kau hanya merasa lahir dari pecahan waktu. Lebih meyakini sebagai sesuatu yang kosong, sunyi. Kemudian sebuah ruang memintamu, hati ini, kekasih, tapi kau selalu mematahkan cintaku dengan cara yang kadang amat melelahkan. Begitulah kau.

Mencintaimu. Kuciptakan cinta yang berbeda. Hampir setiap pagi kukirimi kau sekeranjang puisi dan bunga rumput liar yang basah embun. Meski aku tahu, kau tak akan memaknai apa pun dalam kantukmu yang berat. Kekasih. Aku pernah teramat larut dengan debar di dada ini, apa mungkin kau pernah mengingatnya. Sedikit saja. Cobalah kaubuka kembali ruang masa lalu, pernah aku menangis di pelukanmu yang dingin dan menyerahkan sebilah belati sambil berkata gemetar: jika kau ingin membunuhku, bunuhlah aku dengan cara yang indah, mati sempurna sebagai pemuja cinta.

Kau hanya tertawa ketika itu. Kaukira aku main sandiwara. Atau kau memang memilih menikmati kematianku dalam sekarat yang panjang.

Bahagiakah kau mendengar cerita ini. Aku tampak tolol bukan. Cinta. Ah, ah. Cinta.

Sudahlah, kekasih. Cukup. Jangan kauminta aku bercerita lagi. Aku tidak ingin sampai pada ingatan yang akan membuatku menciptakan tangisan untuk sekian kali. Lagi pula aku tidak begitu percaya kau benar-benar mendengar ceritaku. Paling kau hanya ingin menguji sedalam apa aku pernah mencintaimu. Lelaki, memang begitu, selalu ingin merasa dicintai. Kau menderita saat berpikir aku lebih mencintai lelaki lain. Aku tahu. Aku mengenalmu diam-diam.

Adakah perempuan dapat mencintai dengan lebih sabar. Ia, bukan lagi aku. Untuk itu, hujan, kekasihku. Aku memilih. Memang bukan kau.

***

Seluruh basah. Seluruh.

Hujan. Kita digulung hujan. Pasir. Ombak. Senja. Pulau-pulau hilang dalam sekejap.

"Hanya kita."

"Ya."

"Semua ditelan hujan."

Aku. Kau. Berpegang tangan. Kita tengadahkan wajah sampai titik-titik hujan meninggalkan rasa nyeri yang menusuk. Kita belajar menghadapi rasa sakit.

"Kau bahagia," tanyaku.

"Kau?"

"Entahlah, mungkin hanya perasaan tak bernama."

Tawamu pecah. Kau memelukku erat.

"Jika mungkin, aku ingin terus melewati hujan bersamamu."

Jika mungkin. Jangan, kekasih. Berhentilah membangun apa pun yang sekiranya hanya akan menipu diri. Pertemuan ini tidak lebih dari perpisahan, kau tahu itu.

"apa kita tidak boleh lagi membangun apa pun yang bisa membuat bahagia."

"Mungkin tidak."

"Mungkin."

"Please....Aku tidak ingin membahas tentang mungkin. Semua selesai setelah ini, sampai hujan reda. Kita akan pulang, melupakan apa pun yang pernah."

"Jika hujan tak pernah reda."

"Sudahlah. Jangan memaksa begitu."

"Kau berharap hujan segera reda. Kita berpisah. Jadi benar kau lebih mencintainya."

"Kau mulai lagi."

"Aku hanya ingin mendengarnya sekali saja."

"Kemarin sudah kukatakan."

"Hanya lewat telepon. Aku ingin kau mengatakannya saat mataku menatapmu."

"Kau keterlaluan."

"Jadi benar."

"Kau tega."

"Aku atau kau."

"Kau."

Diam. Hanyut. Haru, "Aku tidak ingin percaya, tapi ternyata benar kau lebih mencintainya."

"Itu kesimpulanmu, tapi bisa saja benar."

Angin menghempaskan daun-daun ru, jatuh dan terserak. Kau menangkapnya sejarak pandang, "seperti itukah rasanya."

"Apa."

"Terhempas."

"Entah"

Sesuatu yang ngilu merayap. Menyentuh sepasang hati yang basah. Hujan. Lihatlah kita tergenang kesedihan yang bergelombang-gelombang. Kuyup. Kalau kau memang ingin, bawalah aku mengarungi lautmu yang meluap. Tapi kau tidak berani. Tidak ingin. Kau selalu hanya mampu mengulur mimpi. Hingga saat semua menjadi terlambat.

***

Dalam sisa pertemuan yang merupakan perpisahan tak bernama ini, sesaat, kita meyakini bahwa hidup memang hanya serpihan mimpi saja, sedang kenyataan kita sembunyikan dari ingatan.

Lalu. Kita membuat dunia dalam hujan. Kau mengajakku bermain dengan pasir. Temani aku menciptakan cinta di laut dan pantai, pintamu. Aku memandang wajah basahmu, kujangkau matamu yang dalam. Hujan. Kau, seseorang yang tanpa nama, sekali ini kulihat benar-benar menjadi hujan yang ingin tumpah. Tumpahlah, kekasih. Mari kita bermain-main dalam hujan yang romantis ini.

Kau ingin berkata. Kuyakinkan, berkatalah. Biar kudengar rintik hujan di dadamu. Kuhangati kau dengan kesejatian yang tak pernah terbayangkan.

"Aku ingin kau menjadi hujan bersamaku." Kau meminta.

"Jadikanlah aku hujan."

"Kita akan meresap bersama dalam butir-butir pasir."

"Tentu."

"Kebahagiaan hanya milik kita."

"Aku dan kau."

"Sungguhkah."

"Heem."

"Ulurkan tanganmu."

"Untuk apa."

"Kita pergi sebelum hujan usai."

"Hahahaha. Sudah. Sudah." Aku tertawa, kemudian menangis. Kita amat keterlaluan mempermainkan perpisahan ini.

Kau ingin aku hilang pada musim lain yang datang bulan depan. Bagaimana bisa begitu. Kau selalu tidak adil. Sekali waktu kau ingin aku terpanggang api, pada saat lain kau pinta aku larut denganmu. Menjadi satu musim, hujan. Lalu ia. Lelaki yang kuyakini lebih mencintaiku, akan selalu menantikan kedatanganku selepas musim hujan ini.

Tidak, kekasih. Bukan dendam yang ingin kubawa pada perjalanan yang sedang menungguku. Kita. Mungkin pernah, dan lupakanlah. Aku akan terus menjalani sekian musim. Tidak seperti kau yang hanya ingin menjadi hujan.

Hujan.

***

Purnama indah, seharusnya Mei berbunga.

Lewat jendela seseorang melempar pesan. Aku terkejut dan melempar pandang. Hanya malam kosong, pesan kosong. Sesuatu yang kosong kembali serasa hadir dengan irama hujan yang semu. Jauh dan sayup.

Kau. Hujan. Tidak mungkin. Musimmu telah jauh meninggalkanku. Mimpi apa lagi yang lupa kauulurkan.

Kosong. Hanya sesuatu yang lirih dan nyaris tenggelam dalam kesunyian. Di kejauhan itu kau seperti diri tak berjiwa. Dingin. Berdiri dengan latar malam cekung di bawah bulan. Sesekali seringaimu tertangkap cahaya bulan. Kau mengirim rindu aroma kemboja. Bunga kesukaanmu, seingatku. Lalu. Sesuatu yang bagai lorong menarikmu dengan gerak teramat lambat. Kulihat pias kulit wajahmu dalam remang. Lorong cekung menangkap seluruh tubuhmu. Kau menolak dan berontak. Tanganmu menggapai-gapai. Ada yang ingin kaukatakan dengan gerak jarimu. Aku sungguh tak mampu membacanya. Terlalu absurd dan rumit. Mungkin bahasa hujan. Hujan. Seharusnya kau datang pada musimmu, biar kedatanganmu bisa kupahami dan tidak sekadar hadir sebagai sesuatu yang begini kosong. Sia-sia. Pesan kosong darimu jatuh di bawah bulan. Lihat. Bulan tertawa (Pertunjukkan yang benar-benar sempurna dari sekian purnama yang kusaksikan dari jendela ini).

***

Selembar surat kabar yang berisi berita kematian dengan gambarmu yang terus mengabur kembali kubaca berulang-ulang sebelum kututup malam dan kubayangkan kau bertanya: Kekasih, maukah kau menjadi hujan.

Sepuluh tahun lalu. Hujan. Kau pergi.

Dan kenapa terlalu jauh.***

Rabu, 13 Juli 2011

Temani Aku

Kau... Temani aku berjalan di bawah rintik gerimis. Terus berjalan hingga kita temui pelangi di ujungnya. Berdua aku ingin mengukir senyum di bibir, mengusir segala getir.

Genggam jemariku.

Akan kuajak kau menemui benakku. Kutunjukkan kepingan rindu yang berserak memenuhi jiwaku.
Akan kuajak kau menyusuri nadiku. Kutunjukkan cinta yang mengalir menembus jantungku.
Akan kuajak kau menuju mataku. Kutunjukkan risaunya karena tak menemukan bayanganmu.
Akan kuajak kau bertanya pada tanganku. Betapa yang diinginkannya hanya untuk mendekapmu.
Akan kuajak kau kedalam mimpiku. Akan kau dapati hanya kau yang ada saat lelapku.
Akan kuajak kau ke peparuku. Helanya terasa sesak saat jarak terasa begitu jauh antara kau dan aku.
Akan kuajak kau ke setiap sudut kepalaku. Akan kau sadari semua warna rasa berawal dan berakhir karenamu.

Setelah kau temani aku, akankah kau semakin mengerti : Betapa cintaku tak pernah menjeda oleh waktu.

Selasa, 12 Juli 2011

Perpisahan

Setiap perpisahan adalah awal pertemuan yang baru. Seseorang yang baru. Hati yang baru. Tak tahu dengan siapa. Tapi yang jelas pasti akan ada pertemuan. I do believe that. Bahkan sampai sekarang.

Kehilanganmu akan seseorang sebenarnya yang menghantarkanmu menemui orang lain pula. Begitu seterusnya di setiap kehilangan, selama nafas masih Dia berikan, selalu ada pertemuan. Jadi sebenarnya kehilangan itu tak ada. Sakit karena kehilangan itu pasti. Dan mungkin berdarah. Tapi percaya, akan banyak pertemuan yang membalutnya. Menyembuhkannya.

Menangis karena perpisahan itu biasa. Bahkan sangat manusiawi. Tapi terus menangisinya sepanjang waktu itu bodoh. Selalu ada pertemuan setelah perpisahan. Mengapa tidak berbaik sangka saja kepada-Nya : "Mungkin Dia menginginkan aku bertemu hati yang lebih cantik lagi". Bukankah itu terdengar lebih indah. Lebih dewasa. Yang harus dilakukan hanyalah bersabar dan menanti kejutan dari-Nya. Kejutan justru akan membuat warna hidupmu lebih menggairahkan bukan. Menanti dengan debar. Menebak-nebak. Dimana belahan hati.  Heii… mungkin dia adalah yang berpapasan denganmu pagi ini. Who knows ?

Saat pertemuan itu dihadirkan-Nya, itu adalah skenario terbaik dari-Nya. Saat yang dipersiapkan-Nya untukmu. Akan terjadi mengalir. Begitu saja. Tanpa kau sadari kau akan lupa perpisahan yang telah terjadi. Melupakan kehilangan. Jika demikian, mengapa tidak berkemas dari sekarang. Pakai gaun terindahmu. Dia ada di sana. Di ujung "nanti". Mungkin dengan selusin mawar di tangan. Hhmm… Aku suka mawar…

Buat yang menantikan "pertemuan" : Good luck…^_^

Rembulan Dan Matahari

Rembulan dan matahari, mereka tak pernah berada di langit yang sama dalam satu waktu. Tapi tahukah kamu ? Mereka sebenarnya saling mencintai. Saling menyayangi. Begitu mencintanya rembulan pada matahari setiap hari diteteskannya rindu pada sang embun. Agar saat fajar tiba matahari mengerti bahwa rembulan selalu merindukannya. Begitupun matahari, dititipkannnya berjuta sinarnya kepada bintang, untuk menemani rembulan di malam hari. Berharap rembulan tak pernah kesepian meski tanpa dirinya disisi. Mereka melakukannya berulang-ulang. Tak ada bosan. Hanya ada cinta dan rindu.

Aku menyebutnya Cinta Sejati. Bagaimana tidak. Meski tak mungkin bersama, mereka tetap mencintai. Tetap saling merindu. Saling menjaga. Saling mengingat. Dan aku percaya merekapun saling mendoakan. Itu yang terindah. Doa itu semacam pelukan. Terus mendoakan berarti terus memeluk. Bahkan itu tak terbatas waktu sekalipun. Kapanpun mereka bisa saling mendoakan. Kapanpun mereka bisa memeluk. Di titik ini mungkin kebersamaan menjadi tak perlu lagi. Karena tanpa bersamapun mereka tetap bisa menunjukkan rasa cintanya lewat doa. Memeluk sepanjang waktu. How sweet…

Dalam kehidupan sepasang dua anak manusia diluaran sana, mungkin banyak yang seperti mereka. Atau paling tidak adalah beberapa. Saling mencintai tapi tak bisa memiliki. Tapi adakah yang seperti mereka : meski tak bisa bersama tapi tetap saling menghormati dan saling menjaga. Saling mendoakan untuk kebahagiaan yang lainnya. Mencintai berarti merelakan yang dicintai bahagia. Disini memiliki menjadi tak mutlak lagi. Ada yang lebih penting, yaitu kebahagiaan orang yang dicintai. Idealnya begini, “saling jatuh cinta dan bersama”. Tapi ideal menurut kita belum tentu ideal menurut Dia bukan ? Yang diberlakukan-Nya selalu benar. Dia Maha Benar. jadi mengapa kita tak menurut saja dengan apa yang telah diberlakukan-Nya. Sepertinya itu lebih mudah daripada tak puas atau menyesali.

Rembulan dan Matahari. Jika engkau seperti mereka, mampukah engkau bersikap seperti mereka juga? I hope so…
---

Heii, matahari. Aku mencintaimu. Lebih dari dalam. Hingga sepenuh hatiku - Rembulan

Senin, 11 Juli 2011

Akhir

Akhir itu biasa.

Sesuatu yang habis. Sesuatu yang akan segera terkubur oleh waktu. Seperti detik terakhir saat kopi tak tersisa lagi dari cangkirmu. Seperti detik terakhir kamu menonton film. Seperti detik terakhir piknik yang kamu lakukan karena harus pulang. Seperti indahnya senja yang harus berlalu karena harus digantikan malam.

Kehidupan sebenarnya membiasakan kita untuk menerima sebuah akhir. Tak ada yang abadi. Ada saatnya memulai. Tapi ada saatnya juga menerima akhir. Itu semacam hukum alam. Dan suka atau tidak kita harus menerima..

Tapi kadang kita tak siap menerima sebuah akhir.

Masih saja melihat ke belakang. Masih saja ingin menikmati. Masih saja menginginkan. Dan keinginan-keinginan itu justru berubah menyakitkan saat apa yang di inginkan tak di dapatkan. Kita lupa bahwa akhir juga adalah kehendak-Nya. Apa yang dikehendaki-Nya adalah yang terbaik untuk kita. Dia Maha Tahu, sedangkan kita tidak. Lalu mengapa tidak kita pasrahkan saja kepada-Nya. Dia Maha Tahu yang terbaik untuk kita. Bahkan jika itu sebuah akhir.

Heloo... Waktumu telah habis. Saatnya mengakhiri. Saatnya melepaskanmu. Kita telah sampai pada sebuah titik. Dan tak ada kalimat yang akan melanjutkannya.

***

"Saat kita belajar memulai sesuatu seharusnya kita juga belajar mengakhirinya. Itu caramu agar kau mampu berkata 'ikhlas' untuk sebuah akhir"


Minggu, 10 Juli 2011

Doa Pagi Untukmu

Pagi ini aku (kembali) melantunkan doa untukmu. Diantara kecupan matahari pagi. Memejamkan kedua mataku. Berbisik dengan lembut diantara desau angin pagi. Sejenak, menghirup wangi pagi yang kudapati dari embun dan rerumputan. Wanginya merasuk jauh ke dalam sudut-sudut hati.

Aku tahu. Meski jarak membentang di antara kita, kau juga turut mengamininya. Juga sambil memejamkan mata. Dan sedikit senyum terukir di ujung bibirmu. Senyum yang selalu membuatku jatuh dan mencinta.

Pagi ini aku (kembali) melantunkan doa untukmu. Untuk jalan bebatuan dan berliku yang terkadang kutemukan saat ingin memelukmu. Untuk debu-debu dan kabut yang seringkali menghadirkan gerimis di mataku.

Untuk cahaya yang kadang mulai meredup, agar kembali terang jalanku saat ada disampingmu. Untuk Lorong yang kadang begitu gelap, agar aku mampu melihatmu dengan hatiku. Untuk kecupan yang kadang terasa dingin, agar kembali menghangat mengaliri seluruh nadiku.

Untuk semua pertanyaan-pertanyaan yang kadang membuatku ragu. Tersesat. Terhempas berulang kali dalam kesalahan yang sama. Kuharap tanya berubah menjadi kata pasti. Agar semakin tegar aku berdiri di sampingmu. Menyandarkan kepala di bahumu. Dengan hati damai. Sedamai pagi ini.

Aku tahu pasti Dia mendengarkan doaku. Akan mengabulkan pintaku.

Pagi ini aku (kembali) melantunkan doa untukmu. Keluarlah dan hirup wangi pagi ini. Kau pasti akan menemukan ketulusan doaku diantara udara pagi yang kau hirup. Rasakan cintaku. Aku menyelipkannya diantara bait-bait doa itu.

Aamiin...

(Mencoba) Berdamai

Terpikir. Mengapa Dia mengirimmu kembali. Saat aku sudah baik-baik saja. Saat langkahku telah jauh meninggalkan masa kita. Masa yang tahun-tahun setelahnya begitu sulit ku hapus dari ingatan. Meski aku berhasil melewatinya, masa itu tetap membekas. Seperti halnya bila kau terjatuh, mungkin darah tak lagi menetes. Juga sakit tak lagi terasa. Tapi bekas luka itu akan tetap ada. Mengingatkanmu selalu : Bahwa kamu pernah jatuh. Begitupun kisah kita. Iapun juga membekas. Di hatiku.

Lalu, kehadiranmu seperti membuka luka lama. Kembali sakit. Tapi, hanya itukah alasan-Nya mengirimmu kembali untukku ? Untuk sebuah rasa sakit ? Dia Maha Penyayang. Sakit bukanlah tujuan-Nya. Sakit hanyalah jalan-Nya agar aku belajar sesuatu. Bukankah begitu hidup ? Selama kehidupan masih diberikan-Nya selalu ada alasan untuk belajar. Dari apapun. Dari siapapun. Termasuk juga belajar dari rasa sakit karena kehadiranmu kembali.

Sakit yang hadir kembali, mungkin menunjukkan bahwa sejatinya aku belum sepenuhnya mampu berdamai dengan masa lalu kita. Tak mudah memang. Butuh hati yang besar. Butuh hati yang luas untuk mema'afkan. Mungkin aku harus mencontoh langit. Betapapun badai menghitamkan dirinya, tapi langit selalu mampu kembali membening. Kehadiranmu mungkin adalah cara-Nya mengajariku untuk berdamai dengan masa lalu. Mengajariku bagaimana mema'afkan yang sebenarnya. Mengajariku untuk ikhlas. Mengajariku tentang ketulusan. Yah, aku yakin itu.

Heiii, kau... Aku tak keberatan kau hadir kembali dalam hidupku. Bantu aku mengenyahkan "si sakit hati" dari jiwaku. Ia yang menyebabkanku jalan di tempat. Terikat dengan masa lalu. Membuatku sulit menghadirkan keikhlasan dalam diriku. Bantu aku berdamai dengan masa lalu kita. Bahwa segalanya yang lalu telah berakhir. Bahwa aku kini memiliki kehidupan yang jauh lebih indah.

Mungkin aku belum sepenuhnya mampu berdamai dengan masa lalu itu. Tapi aku akan mencoba. Janji.
---

Make peace with your past so it won't destroy your present
-Paulo Coelho-

Sabtu, 09 Juli 2011

Jendela

Jendela, kamu itu teman. Kamu selalu ada saat aku kesepian. Menemani dengan tatapan beningmu. Mungkin itu mengapa aku begitu betah di dekatmu. Duduk berlama-lama di depanmu. Saat malam turun, dan tak banyak yang bisa aku lakukan, aku selalu menemuimu. Dengan terbuka kau menerimaku. Kamu biarkan kedua tanganku bertumpu di badanmu yang kokoh. Membiarkan aku menikmati malam selama yang aku inginkan. Dan hebatnya meski berjam-jam tanganku menekan tubuhmu, tak ada keluhan dari bibirmu. Dengan sabar kamu menemaniku. Begitupun saat pagi menjelang. Aku kembali menemuimu. Dan dengan setia kamu mengawasiku menghirup wangi pagi. Begitulah. Kamu selalu ada untukku. Kapanpun aku mau.

Sepertinya aku harus belajar darimu. Kamu begitu terbuka. Begitu setia. Meski terkadang aku sibuk seharian, tapi kamu tetap menantiku.

Kamu begitu kokoh. Tegar. Sabar menerima panas matahari yang menusuk. Juga tak pernah ada amarah saat kaki-kaki hujan berlarian di kayumu. Membuatmu melapuk dan terluka.

Kamu begitu pendiam. Tak banyak bicara. Hanya kadang kacamu yang bening seperti mengatakan sesuatu saat hujan atau angin menyapamu. Aku tak tahu pasti apa yang kamu katakan. Mungkin bahasa jendela. Mungkin kamu menyapa hujan dan angin dengan salam mesra. Aku bahkan percaya kamu merangkai kata-kata romantis dalam salammu itu.

Kamu penjaga rahasia sejati. Kamu mengetahui hampir seluruh rahasiaku. Kamu tahu aku suka menangis diam-diam saat begitu merindukannya. Kamu juga tahu jantungku yang berdebar kencang setiap mendengar suaranya di telpon. Sedihku, bahagiaku, kamu sangat tahu. Sejauh matamu memandang ke dalam aku tahu kamu begitu mengerti aku. Tapi semuanya kamu simpan dalam diammu. Kamu bungkam. Kamu bisu. Menjaga rahasiaku.

Kamu itu pengertian. Kamu selalu tahu bagaimana membuatku nyaman. Tawamu yang lebar mempersilahkan semilir angin masuk ke dalam. Membuatku tertidur dalam kedamaian. Tapi kamu juga tahu kapan saatnya harus diam. Diammu yang menghangatkanku dari dingin yang menusuk. Menjagaku dari kebekuan.

Kamu juga penghibur yang hebat. Saat sunyi menghampiri, kamu ajak aku mendengarkan cerita angin tentang hari ini. Saat aku sedih kamu tunjukkan senja yang mengerling indah. Juga rembulan yang cahayanya menetes menghibur hati yang lara. Kamu tahu, yang kamu lakukan benar-benar menghiburku. Membuat hatiku kembali merah jambu.

Jendela, kamu bukan hanya teman. Kamu mengajarkanku banyak hal.

Terimakasih.

Jumat, 08 Juli 2011

Kau dan Aku

Kau dan aku. Dua jalan takdir yang kemudian dipertemukan menjadi satu takdir indah oleh-Nya. Bersama kita menyusurinya. Lengkap dengan segala musim yang mengiringinya.

Kau dan aku. Terkadang kita seperti dua aliran sungai. Yang sama-sama tenang mengalir kemudian menyatu menjadi aliran sungai yang lebih besar. Kesamaan kita menyatukan. Membuat kita semakin erat berpeluk meski musim penuh lara dan air mata.

Kau dan aku. Terkadang kau seperti dingin yang begitu membeku dan aku seperti panas yang begitu membara. Tapi kemudian kita melebur menjadi hangat yang syahdu dan menenangkan. Kita saling menyeimbangkan, hingga tak ada dingin itu. Hingga berlalu panas itu.

Kau dan aku. Terkadang kau adalah lautan yang teduh dan aku adalah angin yang menderu. Kemudian kita berubah menjadi badai yang dahsyat. Perpaduan yang terkadang membuat kita sama-sama terluka. Tapi cinta kita membalutnya. Badai mungkin melanda, tapi laut kembali tenang setelahnya.

Seperti apapun kita. Kuharap jangan lepaskan genggaman tanganmu. Bersama kita akan terus menyusuri jalan takdir kita. Hingga bahagia yang sejatinya. Semoga.

Rabu, 06 Juli 2011

Berhenti (Sejenak)

Jika diijinkan...
Bolehkah detik berhenti barang sejenak
Hanya sejenak
Aku tak butuh lama
Aku ingin menatap teduh bola matamu
Dengan hati bening
Tak ada prasangka
Ditemani desir lembut sang angin
Tanpa detik yang memburu
Ingin kupastikan hatimu
Adakah aku disitu ?

Bolehkah detik berhenti barang sejenak


Senin, 04 Juli 2011

"I Love You"

"I love you". Kau masih mengingat kalimat itu ? Kalimat yang hampir setiap hari kau ucapkan. Dulu. Di setiap kita menyempatkan waktu berdua. Kau mengatakannya dengan binar mata penuh cinta. Juga berkali kau ucapkan disela-sela telpon kita, saat jarak memisahkan. Kalimat yang selalu mampu membuatku kembali jatuh sejatuh-jatuhnya padamu. Kalimat yang selalu menghadirkan gemintang di setiap malamku. Kalimat yang membuatku serasa berjalan di taman bunga. Kalimat yang membuatku bahagia.

Lalu semuanya berubah. Aku mencintaimu dari purnama ke purnama. Tapi cintamu menghilang dalam gerhana. Aku mencintaimu dari hujan yang satu ke hujan yang lain. Tapi cintamu berubah menjadi gerimis tajam serupa duri yang melukai hatiku. Terkadang cinta datang untuk pergi. Tapi aku tak pernah menyangka kau yang pernah datang membawa cinta, kini kau juga pergi membawa cinta. Kau tahu rasanya ? Sakit.

Mungkin kau tak penah mengerti betapa sakit yang kau tinggalkan. Kalimat yang dulu pernah membuatku berbunga-bunga kini begitu berduri. Menusuk. Melukai begitu dalam. Kisah kita usai, tapi aku masih berdiri disini. Diantara kepingan sakit yang kau tinggalkan. Menciumi luka. Membalutnya dengan air mata. Sendiri.

Secercah harap masih kusimpan di sudut hati. Meski sakit yang kau tinggalkan masih basah berdarah, tapi harapan itu tetap kusirami. Berharap suatu hari nanti akan bersemi menjadi kenyataan. Akan hadirnya sebentuk hati yang kembali menyapa dengan sejuta kata cinta. Kembali membuatku jatuh dan mencinta.

Mungkin bukan kamu lagi. Tapi aku percaya dia akan menemuiku. Tak tahu kapan. Entah. Sang Maha Cinta masih merahasiakannya untukku. Tapi dia akan datang. Kembali membisikkan kalimat itu : I love you...


Note :
Dedicated to my best friend.
Terkadang cinta datang untuk pergi. Tap saat dia pergi, percayalah akan datang cinta yang lain. Cinta yang lebih mengerti. Cinta yang lebih mencintai. Doaku untukmu.

Jumat, 01 Juli 2011

Seperti Lingkaran

Jika cinta itu memiliki bentuk, seharusnya ia seperti lingkaran. Yang tak memiliki titik putus. Terus menerus. Bersambung. Tak ada jeda. Selalu ada. Begitu selamanya.

Seperti lingkaran yang tak mengenal kata berhenti, cinta itu terus kau miliki. Mungkin waktu terus berputar. Musim berganti. Dan tahun tak henti berlari. Tapi cinta itu tetap ada. Tak hilang bersama putaran waktu. Tak pernah layu meski musim berganti berlalu. Tak pergi bersama tahun yang berlari tanpa henti.

Seperti lingkaran yang tak pernah menjeda, cinta itu selalu kau bawa bersama nafas yang kau hela. Selalu kau hirup bersama hari yang kau lewati. Hingga tanpa kau sadari cinta itu menjadi nafas kedua yang kau miliki. Membuatmu hidup. Menjadikanmu tumbuh.

Begitu aku mencintaimu. Seperti lingkaran. Bahkan sejak pertama kali aku jatuh dan mencinta padamu. Hingga kini, cinta itu masih kumiliki...

Adakah kau tahu itu ?
---

Bukanlah kekasih jika dia tidak mencintai selamanya ~ Euripides