Jumat, 23 September 2011

Mengecup Luka

Jejak-jejak sunyi tertinggal bersama waktu yang terus meluruh. Setiap jejak telah memenuhi takdir yang digariskan-Nya. Terkadang ada tangan yang menuntun, juga hati yang mau mendengar. Tapi tak ada yang benar-benar mengerti, sedalam apa luka yang tergores saat takdir menggariskan jejak berlumur duka. 

Begitupun aku. Tertatih menapakinya. Terkadang senyum yang menghiasi bukanlah yang sebenarnya. Senyum hanya menjadi wakil dari kata-kata yang enggan mengumbar luka. Bagaimanapun luka bukanlah benih yang patut disebar kemana-mana. Tumbuh di sembarang tempat yang mungkin saja justru mengganggu dan menimbulkan masalah bagi orang lain. Menanamnya di dalam ladang hati sendiri dan menikmati sendiri bunga laranya adalah pilihanku. Tapi terkadang hati tak mampu menampungnya lagi, saat luka begitu subur tumbuh di dalam hati. Akarnya menjalar tak terkendali, mendesak, menghimpit kekuatan yang tersisa dalam sesak. Menghadirkan ketidakberdayaan yang sempurna.

Disinilah langkah sampai pada titik batas kemampuan menyimpannya. Tersadar dalam sunyi bahwa sebenarnya "aku tidak baik-baik saja". Air mata menjadi begitu rajin mengalir, memberi kabar pada bumi atas ketabahan yang mulai ingin beranjak pergi. Dalam kesunyian mengalir diam-diam. Sendiri. Tak seorangpun mengetahui. Tapi cerita-cerita lain yang juga diberikan-Nya segera menyekanya. Mengeringkannya. Begitu berulang : Menangis sendiri, mengering sendiri.

Menyadari sepenuhnya, bahwa sebenarnya apa yang kita rasa hanyalah sejauh apa yang kita pikirkan. Begitulah hidup. Aku hanya harus mencoba mengerti. Melihat dari sisi lain. Dan bukan hanya terpaku pada luka. Segala perih silahkan datang. Tak peduli aku akan tetap melangkah menerjang. Akan kukecupi semua luka. Menjaganya hingga perih tak lagi terasa. Akan kubagi ruang dalam jiwaku untuknya, menapaki tiap serpihan hidup bersamanya. Tak akan kupaksakan dia berlalu. Karena aku tahu akan tiba masanya dia sendiri yang akan beranjak pergi. Aku hanya harus terus mengecupinya, membalutnya hingga luka itu mengering. Tak ada yang tahu kapan saat itu tiba, begitupun aku. Tapi aku akan bersabar. Terus menemani lukaku, terus mengecupi lukaku. Tak perduli ada yang menyempatkan hati untuk mengerti atau berpaling pergi. Takdir adalah kesunyian masing-masing, dan aku tak keberatan dengan semua ini.

Akan tetap kujalani hidupku. Menggapai segala impianku. Meski di ruang hati yang lain luka masih ada mengiringi. Menyadari dan mengerti apa yang diinginkan-Nya dalam hidup, dan berusaha mewujudkannya dengan setiap tetes keringat dan darah yang mungkin kupersembahkan, itu sudah cukup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar