Rabu, 28 Desember 2011

Seperti Magnet

Pernah aku berujar padamu, "kamu itu seperti magnet". Kau mengingatnya? Kau hanya tertawa saat itu. Aku masih jelas mengingatnya, terutama suara tawamu. Tawamu membuatku tiba-tiba merasa dihujani ribuan cahaya bintang, membuatku bahagia. Atau mungkin bukan suara tawamu yang membuatku bahagia. Aku bahagia karena merasa kamupun bahagia dengan keberadaanku, tawamu buktinya. Bagiku tak ada yang lebih membahagiakan selain melihat orang yang kucintai tertawa bahagia. Itu yang terpenting, bahkan melebihi kebahagiaanku sendiri.

Bukan tanpa alasan aku mengatakannya. Seperti magnet kau selalu mampu menarikku mendekat padamu. Berkali-kali aku berusaha menjauh, berusaha melupakan, tapi aku selalu kembali jatuh padamu. Tak perduli kau melukaiku, membuatku menangis, pergi darimu hanya sebatas keinginan yang tak pernah mampu aku wujudkan. Hatiku, pikiranku, bahkan air mataku, selalu kembali menginginkanmu, kembali mencarimu, kembali mendekat padamu.

Kau tahu, medan magnet yang kau ciptakan itu bernama rindu. Rinduku padamu yang menarikku, mendekatimu. Rindu itu yang selalu berhasil merubah haluan langkahku yang ingin meninggalkanmu kembali berbalik arah menujumu. Tapi aku curiga, sebenarnya kaupun merinduku. Seperti gaya tarik menarik dua magnet, kerinduanmu menarik rinduku datang padamu. Juga seperti sekarang ini, aku begitu ingin memelukmu, begitu sesak merindukanmu. Heii... mungkin disana kaupun tengah merindukanku. Begitukah ?
---
Betapapun jauhnya langkah kakimu pergi meninggalkan orang yang kau cintai, 
kerinduan akan selalu menuntunmu kembali padanya
---

Selasa, 20 Desember 2011

Sebuah Rahasia

Setiap orang memiliki rahasianya sendiri-sendiri. Rahasia yang disimpan rapat, yang hanya ingin mereka bagi bersama kenangan. Dan kau tahu, kekasihku... "Kita" adalah rahasia terbesar milikku. Kita yang dulu pernah tertawa bahagia menyusuri cinta. Kita yang pernah menyulam rindu di dinding-dinding malam gulita. Kita yang saling mencari, saling menggenapi, saling menguatkan. Yah, kita...

Tapi, tak ada yang abadi di dunia ini selain keabadian itu sendiri. Kita yang bahagia tak lebih dari sepasang manusia yang terbuai mimpi. Baru menyadari setelah terbangun dengan luka dan air mata yang menderas di pipi. Bukan salahku, bukan juga salahmu. Bahkan bukan salah keadaan. Kita hanyalah seperti anak-anak burung yang sedang belajar terbang. Sayap-sayap kita begitu lemah dan tak terlatih. Luka yang akan menguatkannya, dan air mata yang akan mengajarinya. Membuat sayap-sayap kita kokoh, dan mampu membawa kita terbang tinggi di kehidupan ini.

Aku harap, meski tanpa aku di sisimu, kau tetap belajar mengepakkan kedua sayapmu. Capailah gunung yang tinggi, melayang, menikmati setiap bahagia yang ditawarkannya. Ada dia yang akan mengajarimu terbang sempurna. Bukan aku. Genggam erat tangannya, dan terbanglah bersamanya. Aku? Tak perlu kau hiraukan. Akupun pasti akan terbang. Tapi tidak sekarang. Luka-luka milikku terlampau perih. Jangan khawatir, Tuhan tengah membalut lukaku. Aku hanya butuh waktu dan terus bersabar.

Saat nanti kau melihatku lagi, meski air mataku kembali menderas, jangan pernah kau perdulikan aku. Kisah kita dan segala airmata hanyalah cara-Nya mendewasakan kita. Tapi satu yang aku ingin kau tahu, bulir-bulir yang menetes dari kedua mataku adalah bukti cintaku padamu yang tak pernah mengering bersama detik yang berlalu. Jika saat itu tiba, kau akan menyadari, cinta sejati itu benar-benar ada. Cintaku padamu. Cinta yang tak pernah menjeda oleh waktu, meski tidak ditakdirkan untuk bersatu.
 ---
Rahasia ini akan rapat kusimpan, dan hanya akan kubagi bersama kenangan...

Note : Dedicated to my bestfriend.
Tetap terbanglah tinggi, menjemput bahagia yang kau ingini. Doaku mengiringi.


Senin, 19 Desember 2011

Sebelum Aku Hampa

Malam, gerimis, dingin, dan sepi. Satu-satunya suara yang menemani hanya gemericik gerimis. Suasana yang tercipta membuat kerinduanku padamu semakin menggumpal, menyesaki dada. Keinginan memelukmu semakin tak tertahankan. Dan saat menyadari tak ada yang bisa kulakukan, tiba-tiba saja sepi telah menjelma menjadi hampa yang begitu menyakitkan.

Kau tahu, sayang... Saat hampa mulai menyergapmu, segala gaduh yang tergaduhpun tak mampu tercerna. Saat hampa berkunjung, tanpa mengetuk pintu, perlahan dia akan terus berjalan menuju hati dan mulai menancapkan kuku-kukunya di sana. Darah kepedihan mulai menyembur, perihnya mulai menyebar kesekujur jiwa. Bersama detik yang terus berlalu lama-lama kau akan letih yang teramat dan hampir mati rasa. Hujan dari matamu akan terus menderas di setiap menjelang lelapmu, dan nyanyian duka akan kembali mengalun di setiap matamu kembali terbuka dibangunkan sang matahari pagi.

Karenanya, kekasihku... 
Sebelum hampa menjeratku, kukemasi seluruh perasaanku, dan bergegas menujumu. 
Akankah kau menunggu di ujung nanti untukku? 


Minggu, 11 Desember 2011

Padamu : (11) Puisi Di Desember

barangkali seperti puisi yang mengakhiri luka
yang tercipta pada langit kenangan
dipenuhi perih yang kemudian memekat 
menjelma hitam sang mendung

barangkali pula seperti barisan kata cinta
untuk segala musim indah setelahnya
tak henti menetes seperti hujan desember
ditingkahi wangi bunga asmara

atau mungkin hanya kata tanpa makna
tak ingin memberi jejak yang berarti
seperti angin yang lalu membisu
menebarkan sunyi dan dingin

duhai tuan, kekasih hati...
pada puisi manakah cintamu ingin kau selipkan untukku?



Rabu, 07 Desember 2011

(Masih) Mencintaimu

Mencintaimu itu menyejukkan, serupa tetes hujan yang pertama kali jatuh setelah kemarau panjang. Mencintaimu itu menenangkan, serupa hangat matahari yang memeluk tubuh yang dingin dihampiri pagi. Mencintaimu itu menyenangkan, serupa gadis kecil yang berlari-lari di taman bunga mengejar kupu-kupu. Mencintaimu itu kepastian, sepasti detak jantungku yang berdetak memberi tanda kehidupan. Kau lihat, semestapun sepertinya sepakat denganku, cintaku padamu menggenapkan apa yang kosong di diriku. Membuatku kembali utuh, dipenuhi kebahagiaan.

Sejatinya, kita, dua jiwa yang saling membutuhkan, dua hati yang saling merindukan, dua harapan yang memiliki satu tujuan. Padamu, kutemukan asmara, sesuatu yang pernah hilang. Di hadapanmu aku pasrah tersimpuh, dihujani tatapan matamu yang serupa panah-panah cinta. Membiarkan panah-panah itu menghujam jantung dan jiwaku, dan pada akhirnya justru membangkitkan keinginanku untuk memilikimu.

Maka, di setiap hening malam aku memanjatkan doa kepada-Nya Sang Maha Pengabul Segala. Bahkan segala yang tak mungkin. Agar Dia mempersatukan nama kita di satu lingkaran yang dipenuhi cinta. Lingkaran yang hanya cukup untuk kita berdua dan bahagia kita. Aku tahu, terkadang Dia tak memberi apa yang kita pinta, tapi aku tak akan berhenti berdoa. Dengan seluruh air mataku aku akan memohon. Dia akan mengerti, memahami keinginanku. Mungkin yang akan diberikan-Nya tak sesuai harapanku, tapi Dia lebih tahu apa yang terbaik untukku, untukmu, untuk kita. Apapun yang dikehendaki-Nya, dengan segenap cintaku padamu aku akan mengikhlaskannya.
--
Aku perempuan yang sedang jatuh cinta. Malam ini kembali kuselipkan namamu di dalam bait-bait doaku yang basah air mata. Akankah Dia memenuhi apa yang kupinta...
--
Note :
Menyusuri kenangan, bertahun lalu, saat pertama jatuh dan mencinta, padamu...