Kamis, 24 November 2011

Serupa Selembar Daun Yang Terakhir

hening
hanya reranting berdenting
beradu ditiup angin semilir
meluruh dedaunan
terhempas satu demi satu
jatuh menemui bumi
dan kesunyian kita
serupa selembar daun yang terakhir :
sepi
sendiri
menanti

Selasa, 22 November 2011

Perempuan Yang Ingin Mencintaimu Hingga Akhir Nafasnya

Perempuan itu begitu mencintaimu. Begitu jatuh padamu. Nafasnya selalu menghembuskan doa-doa tentangmu. Segala kebaikan dimohonkan untukmu. Memohon keselamatan dan kebahagiaanmu. Pernahkah kau memikirkannya, meski hanya sekejap? Jika kau memikirkannya, adakah juga kau simpan sebentuk cinta untuknya di hatimu?

Jatuh cinta padamu telah mengubah seluruh hidupnya. Tak ada hari yang berlalu tanpa semilir angin cinta. Bertiup mengelus jutaan mawar yang senantiasa mekar di hatinya. Cinta juga berpendar warna-warni menerangi malamnya. Membuatnya semakin hidup, meski gelap memeluk di sekitarnya. Sepertinya takdirnya memang tercipta untuk mencintaimu. Cintanya padamu seperti pohon yang ranting dan daunnya semakin membanyak, subur, berbuah cinta yang semakin manis dan ranum. Akar cintanya semakin kuat menancap. Dan selalu diulangnya sebuah janji akan selalu mencintaimu, untuk hal-hal yang selalu membuat dadanya di penuhi kupu-kupu, untuk segala yang membuatnya mengukir senyuman, ataupun segala yang membuat gerimis di hatinya.

Tahukah kau, seorang perempuan tak pernah main-main saat mencinta, dan perempuan itu ingin membuktikannya. Dia ingin sepenuh hati mempersembahkan cintanya. Dia tak akan berpura-pura dengan perasaannya. Terkadang dia menyembunyikan kesedihannya, karena yang diinginkkannya hanyalah agar kau tak terbebani dengan air mata yang diteteskannya. Tak ada yang salah dengan itu. Itulah cinta.

Yah, perempuan itu telah menetapkan hatinya untukmu. Mempersembahkannya hanya untukmu. Perempuan itu ingin mencintaimu hingga akhir nafasnya. Akhir hidupnya.

Perempuan itu, aku...


Sabtu, 19 November 2011

Lebih Dari Apapun

dan lebih dari apapun di jagat ini
aku hanya ingin menggenggam tanganmu
menyatukan setiap rasa yang singgah di benak kita di situ
mengajakmu ke tempat dimana cinta pertama kali menemukan kita
tempat dimana degup jantung kita berkejaran karena cinta
tempat dimana harapan begitu indah terangkai di sela kecupan mesra
tempat dimana wangi asmara tertinggal di setiap jejak langkah kita
tempat dimana bahagia berjatuhan serupa embun yang luruh dari dedaunan saat pagi tiba
tanpa harus terganggu lara yang terkadang diam-diam menyelinap diantaranya

dan lebih dari apapun sepanjang waktu yang berjalan
aku hanya ingin kau rengkuh dalam hangat dekapan
hanyut mengikuti aliran kedamaian yang tercipta dari hangatnya
menikmati setiap detik yang kau beri dalam hembusan bahagia
detik saat sentuhanmu menjelma puisi
detik saat suaramu membisikkan segala kalimat cinta
detik saat tatapanmu berubah desir sunyi yang memabukkan
detik saat aku begitu utuh tergenapi segalamu
detik-detik saat siang dan malam tak lagi ada bedanya untukku

gengaman tangan dan hangat dekapan
sanggup merangkum segala rasa
yang terkadang tak mampu disampaikan oleh kata-kata

Lelaki Hujan

Lelaki itu jatuh saat hujan turun. Jatuh menghujam bumi. Jatuh seperti hujan. Tapi tak seperti hujan, ia jatuh sendiri. Dan tak berdaya. Ketidakberdayaannya membuatku terpana.
Lelaki itu begitu berduka. Luka menganga di hatinya. 
Dengan menahan rasa sakit di sekujur jiwa, ditengadahkan wajahnya ke langit. Menantang hujan. Membiarkan hujan menusuk kulitnya. Seolah ia ingin hujan mengajarinya bagaimana menerima segala rasa sakit.
Yang dilakukannya membuatku jatuh cinta.
Lelaki itu meneriakkan puisi. Tentang cinta. Tentang rindu. Tentang hati yang patah. Tentang gelisah. Tentang dia yang pernah membuatnya bahagia.
Puisinya membuat hatiku ikut patah.
Lelaki itu terus berdiri di situ. Masih meratapi cintanya yang berlalu. Masih di dekap rindu. Masih meneriakkan puisinya yang sendu.
Aku masih terpaku di sini, dengan hati basah dan nyeri.
Lelaki itu tak pernah tahu aku jatuh cinta padanya. Meski ia terluka. Meski ia tak berdaya. Meski hatinya masih menginginkan dia yang telah menyakitinya.
Rintik hujan berbaur air mataku. Menghapus jejak langkahku yang diam-diam pergi berlalu.
Dan masih di tempat yang sama, pada detik yang beriringan dengan kepergianku, tetiba lelaki itu merasa kehilangan sesuatu, yang tak pernah ia mengerti apa itu.


Selasa, 15 November 2011

Padamu : (10) Jangan Kembali

Tuan, kehadiranmu telah menempati ruang di hatiku. Kau sendiri dan berkuasa di situ. Tapi sepertinya kau tak puas hanya diam di hatiku. Kemudian, perlahan tapi pasti bersama darah kau mengalir menuju kepalaku. Meninggalkan jejak-jejak gelisah yang terus berlompatan ke segala arah. Membuatku terus meresah.

Sesampainya di kepala kau membelah diri. Masing-masing kau terus membelah dan membelah tanpa henti. Semakin banyak. Beribu, berjuta, entah akupun tak sanggup lagi menghitungnya. Di hatiku kau memang sendiri saja, tapi di kepalaku kau begitu banyaknya, menguasai luas rasa tanpa sedikitpun menyisakan jeda.

Tanpa perduli kau terus membanyak. Seluruh kau memporak porandakan segalaku. Menghancurkan tubuh dan jiwaku. Memaksa air mata menemui pipi, lalu dengan perih menuju ke hati. Kemudian kau pergi. Tapi tak semua kau bawa berlari. Kau tinggalkan bayanganmu yang serupa belati terus menyiksa diri.

Bisakah kau jemput dia dan juga membawanya pergi? Tak ada lagi yang tersisa, semuanya telah kau miliki. Aku hanya ingin membenahi diri. Pergilah Tuan, bawa serta segalamu, juga bayanganmu. Dan kumohon jangan kembali lagi.

Sabtu, 12 November 2011

Biru

diantara kau dan langit, 
aku adalah hujan, 
yang senantiasa luruh dalam ribuan kerinduan

barangkali malam adalah tempat untukku,
menyembunyikan segala gerimis,
dari tatapan matamu yang serasa candu

cinta membuatku mampu menangkap bayanganmu,
di antara basah dedaunan,
yang tabah memeluk dingin angin malam

kesedihan telah menggigit kata-kata hingga tak berdaya,
tinggal sepiku yang kelu, biru, bisu,
mengalirkan perihnya dalam tetes air mata

tapi keabadian ternyata masih ada,
saat kuingat kedua lenganmu  yang mendekap hangat tubuhku,
erat tanpa jeda

kau semesra puisi-puisi cinta,
yang kusembunyikan lewat sentuhan-sentuhan kita,
kemudian abadi dalam ingatan

yang kumengerti hanya mencintaimu,
luka akan kunikmati,
sepi akan kujalani

kebahagiaan hanyalah tujuan,
dan kita terkadang hanya tak mampu,
menemukan jalan pulang
---

  dear, aku kangen...

Jumat, 11 November 2011

Padamu : (9) Gerimis

Gerimis begitu lembut terjatuh.

Membiarkannya membasahi tubuh kita. Dinginnya membuatmu semakin erat menggenggam tanganku. Aku suka. Tanganku menginginkanmu dengan sangat. Semakin erat kau genggam semakin ia tak ingin kau lepaskan. Dan tak ada satupun alasan untuk melepaskan genggaman darimu.

Kemudian kau menatap kedua mataku. Kau tak menyadari, bening di sana telah bercampur air mataku. Bahkan air matakupun begitu menginginkanmu. Aku menginginkanmu dengan sangat. Dengan segenap jiwaku. Dengan seluruh air mataku.

Kau terus menatapku. Tatapan yang hangat diantara dingin yang dibawa gerimis. Membuatku semakin terhanyut. Aku semakin jatuh cinta pada matamu. Sampai sekarangpun aku tak mampu menjelaskan mengapa aku memilih matamu, dan akupun tak mau memikirkannya. Jatuh cinta kadang begitu. Kau jatuh dan tak pernah mampu menjelaskan kenapa jatuh. Seperti aku jatuh cinta pada matamu, dan tak pernah tahu mengapa begitu.

Seperti tahu apa yang ada di benakku, kau bertanya, "Mengapa kau jatuh cinta padaku?" "Entahlah, mungkin seperti gerimis itu. Dia jatuh dan kita tak pernah tahu pasti mengapa ia jatuh." Yah, mungkin hanya sesederhana itu. Aku jatuh cinta padamu serupa gerimis yang begitu lembut terjatuh ke bumi. Hanya sesederhana itu.

"Aku tak mengerti, kamu aneh", katamu lagi, masih terus menatapku dengan tatapan hangat yang sama. Oh sayang, mungkin aku memang aneh, tapi yang jelas aku jatuh cinta padamu. Jatuh cinta pada hangat tatapan matamu.

Kemudian.

"AKU MENCINTAIMU !" Dengan keras kuteriakkan kalimat itu di antara gerimis. Diantara tatapan matamu yang membuatku semakin jatuh cinta. Dan kau tetap tak mengerti.

Rabu, 09 November 2011

Time To Leave

Tak bisakah kita kembali ke masa itu?
Ketika kita hanyalah dua orang asing.
Yang tak saling mengenal satu sama lain. 
Dan berhenti di situ.

***
Jika mencintaimu itu adalah luka, mungkin aku akan memilih tak bertemu denganmu. Tapi jatuh cinta bukanlah pilihan. Aku tak bisa memilih kepada siapa hatiku jatuh. Aku hanya bisa mengikuti dan menurut pada hatiku. Pun saat ia jatuh padamu. Aku tetap tak punya pilihan, selain kemudian mencintaimu. Sungguh bukan cinta yang main-main. Karena aku jatuh begitu dalam. Begitu mencintaimu. Bahkan sampai saat ini. Detik ini. Cinta yang tak pernah kusesali, meski setiap mengingatnya ada perih di sekujur hati.

Kisah kita telah lama berakhir. Tapi tidak cintaku. Semacam hukuman karena terlalu dalam mencintaimu-kah? Hingga cinta yang tak mau hilang setelah kepergianmu tetap harus kutanggung sendiri. Mencintaimu dan memerih. Perih yang tercipta karena aku masih begitu menginginkanmu. Mungkin memang salahku. Terus menoleh ke belakang dan tak mau beranjak pergi. Keadaan yang justru membuatku semakin terluka dan harus terus menikmati perih.

Dan kini.

Mungkin sebuah kesadaran yang sangat terlambat datang. Saatnya untuk pergi. Saatnya untuk tak lagi menoleh ke belakang. Tak lagi terpaku pada masa yang telah aku tinggalkan. Belajar melepaskan. Belajar ikhlas meninggalkan. Aku percaya hanya itulah satu-satunya cara agar langkahku semakin ringan. Ringan untuk melangkah dan menjemput sesuatu yang baru. Sesuatu yang kuyakini lebih indah. Sesuatu yang tanpa perih. Sesuatu yang akan membuatku bersyukur, bahwa pada akhirnya aku mampu berdiri tegar tanpa beban masa lalu kita.

Sungguh semua itu tak akan semudah membalikkan telapak tangan. Aku bahkan tersendat di langkah pertamaku. Menahan diri untuk tak lagi menoleh ke belakang. Sepenuhnya aku sadari, saat langkahku kembali terhenti, sang waktu tak akan diam menemani. Dia terus berlari. Yang tersisa hanya pilihan : Kembali tak berdaya di dekap masa lalu atau terus melangkah mengejar mimpi dan harapan di masa depan.

Kuputuskan untuk terus melangkah mengejar mimpi dan harapan. Semoga bayanganmu tak lagi membuatku berhenti dan terdiam.

Selamat tinggal.

Selasa, 08 November 2011

Padamu : (8) Hujan Malam Ini

Aku suka mendengarkan suara hujan yang jatuh di atas genting. "Tik tik tik...". Begitu teratur. Keteraturan yang menenangkan. Berbaring, mendengarkannya diam-diam, menekuk lutut hingga kedadaku, memeluknya erat-erat dengan kedua tangan, dan kamu di ingatan. Itu yang sering terjadi. Suara hujan di atas genting selalu mengantarkanmu ke dalam ingatanku.

Hujan dan mengingatmu. Romantis bukan? Mendengarkan suara hujan dan juga mengingatmu. Mengingat kamu yang pernah memberi rasa. Mengingatmu yang juga mengambil rasa itu, dan pergi tanpa memberi kepastian. Tapi aku tak pernah melupakannya. Tepatnya aku belum lupa. Aku bahkan menantimu. Masih menantimu. Bunyinya selalu mampu membiusku. Mengingatkanku pada sosok yang sama. Sosok yang pernah ada, sekaligus tak lagi ada. Kamu. 

Yah, padamu. Apakah kamu merasakannya? Merasakan ada yang tengah memikirkanmu, saat kau dengar suara hujan di atas genting. Tik tik tik... Dengarkan. Resapi. Rasakan. Kamu tak akan pernah salah menduga. Diantara gemericik bunyinya aku mengingatmu. Aku merindumu. Sangat. Begitu detail aku mengingatmu. Punggungmu, senyummu, suaramu, baumu, hangatmu. Aku ingat. Begitu detail aku merindumu. Semua yang ada padamu aku rindu. Bahkan caramu memandangku dengan mata teduhmu. Aku rindu.

Malam ini hujan kembali jatuh. Tik tik tik... Aku kembali mendengarkan suaranya dalam diamku. Aku kembali mengingatmu. Derasnya serupa rinduku. Rindu berada dalam pelukanmu. Seperti dulu. Tapi malam ini bunyinya membawaku pada sebuah renungan : adakah rindu ini hanyalah kesia-siaan? atau, adakah bahagia yang indah di ujung rindu, seperti indahnya pelangi setelah hujan ?

Tak ada jawaban. Hanya terdengar bunyi hujan. Tik tik tik... 

Aku menyelipkan harapan di antara gemericik bunyinya. Semoga kamu segera datang, dan memberiku sebuah jawaban.

Bilakah?