Malam, gerimis, dingin, dan sepi. Satu-satunya suara yang menemani hanya gemericik gerimis. Suasana yang tercipta membuat kerinduanku padamu semakin menggumpal, menyesaki dada. Keinginan memelukmu semakin tak tertahankan. Dan saat menyadari tak ada yang bisa kulakukan, tiba-tiba saja sepi telah menjelma menjadi hampa yang begitu menyakitkan.
Kau tahu, sayang... Saat hampa mulai menyergapmu, segala gaduh yang tergaduhpun tak mampu tercerna. Saat hampa berkunjung, tanpa mengetuk pintu, perlahan dia akan terus berjalan menuju hati dan mulai menancapkan kuku-kukunya di sana. Darah kepedihan mulai menyembur, perihnya mulai menyebar kesekujur jiwa. Bersama detik yang terus berlalu lama-lama kau akan letih yang teramat dan hampir mati rasa. Hujan dari matamu akan terus menderas di setiap menjelang lelapmu, dan nyanyian duka akan kembali mengalun di setiap matamu kembali terbuka dibangunkan sang matahari pagi.
Karenanya, kekasihku...
Sebelum hampa menjeratku, kukemasi seluruh perasaanku, dan bergegas menujumu.
Akankah kau menunggu di ujung nanti untukku?
Kau tahu, sayang... Saat hampa mulai menyergapmu, segala gaduh yang tergaduhpun tak mampu tercerna. Saat hampa berkunjung, tanpa mengetuk pintu, perlahan dia akan terus berjalan menuju hati dan mulai menancapkan kuku-kukunya di sana. Darah kepedihan mulai menyembur, perihnya mulai menyebar kesekujur jiwa. Bersama detik yang terus berlalu lama-lama kau akan letih yang teramat dan hampir mati rasa. Hujan dari matamu akan terus menderas di setiap menjelang lelapmu, dan nyanyian duka akan kembali mengalun di setiap matamu kembali terbuka dibangunkan sang matahari pagi.
Karenanya, kekasihku...
Sebelum hampa menjeratku, kukemasi seluruh perasaanku, dan bergegas menujumu.
Akankah kau menunggu di ujung nanti untukku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar