Lelaki itu jatuh saat hujan turun. Jatuh menghujam bumi. Jatuh seperti hujan. Tapi tak seperti hujan, ia jatuh sendiri. Dan tak berdaya. Ketidakberdayaannya membuatku terpana.
Lelaki itu begitu berduka. Luka menganga di hatinya.
Dengan menahan rasa sakit di sekujur jiwa, ditengadahkan wajahnya ke langit. Menantang hujan. Membiarkan hujan menusuk kulitnya. Seolah ia ingin hujan mengajarinya bagaimana menerima segala rasa sakit.
Yang dilakukannya membuatku jatuh cinta.
Lelaki itu meneriakkan puisi. Tentang cinta. Tentang rindu. Tentang hati yang patah. Tentang gelisah. Tentang dia yang pernah membuatnya bahagia.
Puisinya membuat hatiku ikut patah.
Lelaki itu terus berdiri di situ. Masih meratapi cintanya yang berlalu. Masih di dekap rindu. Masih meneriakkan puisinya yang sendu.
Aku masih terpaku di sini, dengan hati basah dan nyeri.
Lelaki itu tak pernah tahu aku jatuh cinta padanya. Meski ia terluka. Meski ia tak berdaya. Meski hatinya masih menginginkan dia yang telah menyakitinya.
Rintik hujan berbaur air mataku. Menghapus jejak langkahku yang diam-diam pergi berlalu.
Dan masih di tempat yang sama, pada detik yang beriringan dengan kepergianku, tetiba lelaki itu merasa kehilangan sesuatu, yang tak pernah ia mengerti apa itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar