Kamis, 14 Juli 2011

Kekasih Hujan

Aku pertama kali membaca tulisan KH Mustofa Bisri ini lebih dari setahun yang lalu. Pertama membacanya seperti terhanyut oleh setiap kalimat yang dituturkan sang kyai. Begitu dalam. Lembut. Penuh makna. Aku sering mengulang-ulang membacanya, sampai di beberapa kalimat di kisah itu aku bahkan hapal. Dan yang aneh, meski telah berpuluh kali membacanya tanpa disadari mataku selalu basah. Ada pelajaran yang aku dapatkan disini : "Bahwa cinta ibarat pisau bermata dua yang mampu mendatangkan suatu kebahagiaan yang teramat, namun di bagian sisi yang lain, juga mampu menggoreskan luka yang perih"

Kekasih Hujan
oleh : KH Mustofa Bisri

BEGINILAH cara kita berpisah kekasih. Mungkin kelak aku hanya mengingatmu sebagai hujan. Kau. Lelaki tanpa nama. Sekali waktu bahkan kau benar-benar ingin kupanggil: Hujan. Sesuatu yang terasa kosong.

Perpisahan kita adalah juga pertemuan tak bernama. Entah mengapa kita harus membuat janji menziarahi pantai dan laut itu. Kaukatakan bahwa perjumpaan terakhir, barangkali penting untuk sepasang kekasih, kalau tidak, kau tidak bisa bayangkan bagaimana cara menempatkanku dalam kenangan nanti, saat aku memilih kehidupan lain bersama seseorang yang kuyakini lebih mencintaiku daripada kau, sebagaimana juga kau pun akan begitu. Kukira, kau memang benar. Kita harus menjaga diri dari rasa saling benci, sebab kita pernah begitu mencintai (itu pun kalau kau tak berbohong. Aduh. Aku sungguh tak bisa bayangkan cintamu sebuah kebohongan. Tidak mungkin. Kau mencintaiku, aku merasa begitu. Kedalaman matamu sering bicara padaku. Mata yang kukira sesuatu yang paling jujur dalam dirimu).

Lalu pantai dan laut, kekasih. Kita berbagi. Di sini. Ada sekelopak tangis. Ada cerita canda. Ada tawa getir. Kita seperti sengaja menghibur diri. Membangun suasana sehangat mungkin, dekat dan penuh bunga. Kau membujukku untuk mengatakan apa aku benar-benar akan meninggalkanmu. Dengan manja, kukatakan, benar, aku akan segera pergi, barangkali ke negeri yang penuh bunga dan malam selalu purnama. Kau menatap, matamu mengiris mataku. Kubiarkan. Aku ingin teriris. Terbelah dan sakit. Aku. Kau. Memang harus membiarkan luka itu mengalir indah, menjadi rindu yang nanti akan kita simpan diam-diam. Hanya begitu.

Dan, marilah, pecah suaramu, kita masuk dalam rimba cerita. Maka kauminta aku mengurai kembali tentang seorang kekasih yang terlalu sering memetik pagi pada subuh dingin dan mengirimnya untuk lelaki yang bahkan tidak mengerti bagaimana cara menjaganya. Wajahku bersemu. Setengah jengah dan malu. Aku merasa kau begitu tahu seluruh rahasiaku, termasuk bagaimana cara aku mencintai. Haruskah aku ceritakan lagi. Tentu saja, katamu tegas. Untuk apa. Untuk membahagiakan hatiku yang luka, kau berbisik. Siapa yang sesungguhnya luka. Aku, bisikmu. Kauremas rambutku. Tidak. Kau berbohong. Luka itu, sesuatu yang kau ingin. Karena itu, jangan pernah merasa terluka, apalagi dilukai.

Baiklah aku bercerita. Hanya saja cerita ini bukan untuk hatimu yang luka, tapi untuk kita. Aku. Kau.

***

Aku selalu memanggilmu Hujan. Tentu saja karena kau lelaki tanpa nama. Tanpa sepenggal ingatan kanak-kanak. Kehadiran yang sering kali kauyakini tak bermula. Kau hanya merasa lahir dari pecahan waktu. Lebih meyakini sebagai sesuatu yang kosong, sunyi. Kemudian sebuah ruang memintamu, hati ini, kekasih, tapi kau selalu mematahkan cintaku dengan cara yang kadang amat melelahkan. Begitulah kau.

Mencintaimu. Kuciptakan cinta yang berbeda. Hampir setiap pagi kukirimi kau sekeranjang puisi dan bunga rumput liar yang basah embun. Meski aku tahu, kau tak akan memaknai apa pun dalam kantukmu yang berat. Kekasih. Aku pernah teramat larut dengan debar di dada ini, apa mungkin kau pernah mengingatnya. Sedikit saja. Cobalah kaubuka kembali ruang masa lalu, pernah aku menangis di pelukanmu yang dingin dan menyerahkan sebilah belati sambil berkata gemetar: jika kau ingin membunuhku, bunuhlah aku dengan cara yang indah, mati sempurna sebagai pemuja cinta.

Kau hanya tertawa ketika itu. Kaukira aku main sandiwara. Atau kau memang memilih menikmati kematianku dalam sekarat yang panjang.

Bahagiakah kau mendengar cerita ini. Aku tampak tolol bukan. Cinta. Ah, ah. Cinta.

Sudahlah, kekasih. Cukup. Jangan kauminta aku bercerita lagi. Aku tidak ingin sampai pada ingatan yang akan membuatku menciptakan tangisan untuk sekian kali. Lagi pula aku tidak begitu percaya kau benar-benar mendengar ceritaku. Paling kau hanya ingin menguji sedalam apa aku pernah mencintaimu. Lelaki, memang begitu, selalu ingin merasa dicintai. Kau menderita saat berpikir aku lebih mencintai lelaki lain. Aku tahu. Aku mengenalmu diam-diam.

Adakah perempuan dapat mencintai dengan lebih sabar. Ia, bukan lagi aku. Untuk itu, hujan, kekasihku. Aku memilih. Memang bukan kau.

***

Seluruh basah. Seluruh.

Hujan. Kita digulung hujan. Pasir. Ombak. Senja. Pulau-pulau hilang dalam sekejap.

"Hanya kita."

"Ya."

"Semua ditelan hujan."

Aku. Kau. Berpegang tangan. Kita tengadahkan wajah sampai titik-titik hujan meninggalkan rasa nyeri yang menusuk. Kita belajar menghadapi rasa sakit.

"Kau bahagia," tanyaku.

"Kau?"

"Entahlah, mungkin hanya perasaan tak bernama."

Tawamu pecah. Kau memelukku erat.

"Jika mungkin, aku ingin terus melewati hujan bersamamu."

Jika mungkin. Jangan, kekasih. Berhentilah membangun apa pun yang sekiranya hanya akan menipu diri. Pertemuan ini tidak lebih dari perpisahan, kau tahu itu.

"apa kita tidak boleh lagi membangun apa pun yang bisa membuat bahagia."

"Mungkin tidak."

"Mungkin."

"Please....Aku tidak ingin membahas tentang mungkin. Semua selesai setelah ini, sampai hujan reda. Kita akan pulang, melupakan apa pun yang pernah."

"Jika hujan tak pernah reda."

"Sudahlah. Jangan memaksa begitu."

"Kau berharap hujan segera reda. Kita berpisah. Jadi benar kau lebih mencintainya."

"Kau mulai lagi."

"Aku hanya ingin mendengarnya sekali saja."

"Kemarin sudah kukatakan."

"Hanya lewat telepon. Aku ingin kau mengatakannya saat mataku menatapmu."

"Kau keterlaluan."

"Jadi benar."

"Kau tega."

"Aku atau kau."

"Kau."

Diam. Hanyut. Haru, "Aku tidak ingin percaya, tapi ternyata benar kau lebih mencintainya."

"Itu kesimpulanmu, tapi bisa saja benar."

Angin menghempaskan daun-daun ru, jatuh dan terserak. Kau menangkapnya sejarak pandang, "seperti itukah rasanya."

"Apa."

"Terhempas."

"Entah"

Sesuatu yang ngilu merayap. Menyentuh sepasang hati yang basah. Hujan. Lihatlah kita tergenang kesedihan yang bergelombang-gelombang. Kuyup. Kalau kau memang ingin, bawalah aku mengarungi lautmu yang meluap. Tapi kau tidak berani. Tidak ingin. Kau selalu hanya mampu mengulur mimpi. Hingga saat semua menjadi terlambat.

***

Dalam sisa pertemuan yang merupakan perpisahan tak bernama ini, sesaat, kita meyakini bahwa hidup memang hanya serpihan mimpi saja, sedang kenyataan kita sembunyikan dari ingatan.

Lalu. Kita membuat dunia dalam hujan. Kau mengajakku bermain dengan pasir. Temani aku menciptakan cinta di laut dan pantai, pintamu. Aku memandang wajah basahmu, kujangkau matamu yang dalam. Hujan. Kau, seseorang yang tanpa nama, sekali ini kulihat benar-benar menjadi hujan yang ingin tumpah. Tumpahlah, kekasih. Mari kita bermain-main dalam hujan yang romantis ini.

Kau ingin berkata. Kuyakinkan, berkatalah. Biar kudengar rintik hujan di dadamu. Kuhangati kau dengan kesejatian yang tak pernah terbayangkan.

"Aku ingin kau menjadi hujan bersamaku." Kau meminta.

"Jadikanlah aku hujan."

"Kita akan meresap bersama dalam butir-butir pasir."

"Tentu."

"Kebahagiaan hanya milik kita."

"Aku dan kau."

"Sungguhkah."

"Heem."

"Ulurkan tanganmu."

"Untuk apa."

"Kita pergi sebelum hujan usai."

"Hahahaha. Sudah. Sudah." Aku tertawa, kemudian menangis. Kita amat keterlaluan mempermainkan perpisahan ini.

Kau ingin aku hilang pada musim lain yang datang bulan depan. Bagaimana bisa begitu. Kau selalu tidak adil. Sekali waktu kau ingin aku terpanggang api, pada saat lain kau pinta aku larut denganmu. Menjadi satu musim, hujan. Lalu ia. Lelaki yang kuyakini lebih mencintaiku, akan selalu menantikan kedatanganku selepas musim hujan ini.

Tidak, kekasih. Bukan dendam yang ingin kubawa pada perjalanan yang sedang menungguku. Kita. Mungkin pernah, dan lupakanlah. Aku akan terus menjalani sekian musim. Tidak seperti kau yang hanya ingin menjadi hujan.

Hujan.

***

Purnama indah, seharusnya Mei berbunga.

Lewat jendela seseorang melempar pesan. Aku terkejut dan melempar pandang. Hanya malam kosong, pesan kosong. Sesuatu yang kosong kembali serasa hadir dengan irama hujan yang semu. Jauh dan sayup.

Kau. Hujan. Tidak mungkin. Musimmu telah jauh meninggalkanku. Mimpi apa lagi yang lupa kauulurkan.

Kosong. Hanya sesuatu yang lirih dan nyaris tenggelam dalam kesunyian. Di kejauhan itu kau seperti diri tak berjiwa. Dingin. Berdiri dengan latar malam cekung di bawah bulan. Sesekali seringaimu tertangkap cahaya bulan. Kau mengirim rindu aroma kemboja. Bunga kesukaanmu, seingatku. Lalu. Sesuatu yang bagai lorong menarikmu dengan gerak teramat lambat. Kulihat pias kulit wajahmu dalam remang. Lorong cekung menangkap seluruh tubuhmu. Kau menolak dan berontak. Tanganmu menggapai-gapai. Ada yang ingin kaukatakan dengan gerak jarimu. Aku sungguh tak mampu membacanya. Terlalu absurd dan rumit. Mungkin bahasa hujan. Hujan. Seharusnya kau datang pada musimmu, biar kedatanganmu bisa kupahami dan tidak sekadar hadir sebagai sesuatu yang begini kosong. Sia-sia. Pesan kosong darimu jatuh di bawah bulan. Lihat. Bulan tertawa (Pertunjukkan yang benar-benar sempurna dari sekian purnama yang kusaksikan dari jendela ini).

***

Selembar surat kabar yang berisi berita kematian dengan gambarmu yang terus mengabur kembali kubaca berulang-ulang sebelum kututup malam dan kubayangkan kau bertanya: Kekasih, maukah kau menjadi hujan.

Sepuluh tahun lalu. Hujan. Kau pergi.

Dan kenapa terlalu jauh.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar